Kamis, 05 Januari 2017

Jumat, 30 September 2016


Sejarah Singkat Kapal Pinisi

Kapal kayu Pinisi ada di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu, dari berbagai naskah Lontarak Babad I La Lagaligo (abad ke 6), cikal bakal kapal Pinisi sudah ada sebelum tahun 500an. Catatan pembuatan Pinisi yang masuk dalam Babad I La Lagaligo, untuk pertama kali dibuat oleh Sawerigading (Pendiri Agama Lokal - yang lahir tahun 564 M, atau 7 tahun lebih dahulu dari kelahiran Nabi Muhamad yang lahir pada tahun 571 M).
Dari catatan sejarah pembuatan Kapal Pinisi sendiri, tercatat pertama kali bahwa pembuatan kapal tersebut diperuntukan bagi Sawerigading yang Putera Mahkota Kerajaan Luwu, untuk berlayar menuju negeri Tiongkok, dalam rangka meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Jadi secara logika, berarti teknologi kapal Pinisi yang sangat terkenal tersebut sudah ada sejak jauh sebelum tahun 500an itu sendiri.
Sejarah Kearifan Lokal dan Gotong Royong (kalau orang sekarang mengatakan "It's a teamwork") masyarakat setempat, terlihat ketika mereka; Orang-orang Ara bergotong-royong untuk membuat badan kapal, sementara orang-orang di Tana Lemo yang merakit badan kapal tersebut (hasil buatan orang-orang desa Ara), dan terakhir orang-orang Bira merancang tujuh layar yang hingga kini dipakai oleh kapal Pinisi. Kemudian masyarakat ketiga desa tersebut menamakannya sebagao Kapal Pinisi.
Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok, dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah sempat menetap lama di Tiongkok, Sawerigading beserta istri dan anaknya berniat kembali ke Luwu "kampung halamannya" dengan menggunakan kapat yang digunakannya ketika ia berangkat ke Tiongkok dahulu. Menjelang memasuki perairan Luwu, Pinisi diterjang gelombang besar, dan akhirnya terbelah menjadi tiga bagian.

Minggu, 25 September 2016

anak makassar tojeng


SONGKOK RECCA'

Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut
hingga yang tersisa hanya seratnya.
Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.
Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.
Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?
Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.
Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata si pemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.
Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone. (Teluk Bone)

Jumat, 23 September 2016